Selasa, 27 Oktober 2009

Jenis-jenis alat musik instrument

Menurut gw merek2 guitar yg bagus ntu

- Fender Telecaster

- Gibson Les Paul



























- Vox



- Rickenbacker


truz gitaris terbaik ntu

1. Jimi Hendrix
2. Slash
3. Edie Van Halen
4. Eric Clapton
5. Gitarisnya Avanged Seven Fold (namanya lupa )

bagi yg suka gitar pada gabung yukz..



Drumset comparing. Tama Rockstar, Yamaha Stage custom, Pearl Export & Sonor force 2001.

Tama, Yamaha, Pearl atau Sonor? Hmmm… pilih yang mana yah? Well, memilih drumset seperti merk2 diatas memang sangat me
nantang apalagi mereka merupakan merk yang sangat ternama dan mempunyai kualitas yang terjamin. Erm, bukannya gw sok tau he3 tapi untuk memudahkan dalam pemilihan, gw mau ngasi sdikit info ttg comparing drumset diatas.

First drumset: Tama Rockstar




















Kelebihan:

-Harga relatif murah walupun dgn fitur seri professional.
-Stand hihat cukup besar dan kakinya dapat diputar
-Looks-nya dapat dikatakan paling top notch diantara 3 set lain
nya.
-Tersedia juga dgn ukuran Fusion set.
-RIMS memisahkan tom holder dgn badan tom sehingga suara lebih bulat.
-Posisi tom-tom sangat fleksible sehing
ga mudah di atur letaknya.
-Hardware sangat memuaskan walaupun agak sedikit kaku.
-Suara cukup memuaskan.

Kekurangan:

-Suara drum secara keseluruhan masih terdengar seperti layaknya drum level pemula dikarenakan menggunakan kayu Mahogany yg memang rata2 digunakan oleh drum seri menengah hi
ngga paling bawah.
-Pedal cukup kaku.
-Optional seperti tom-tom, snare & hardware cukup mahal dan sukar untuk didapat.
-Tuning range sangat terbatas untuk semua tom-tom.



Yamaha Stage Custom Advantage













Kelebihan:

-Satu-satunya drumset unt
uk level ini yg menggunakan kombinasi kayu Birch, Falkata dan Mahogany.
-Tersedia juga dalam ukuran Fusion.
-Suara sangat memuaskan, penuh, bulat dan menendang. Sudah sangat layak untuk digunakan untuk rekama
n. (the best sounding drum in this level)
-Bass drum dgn panjang 17”!!! Suaranya lebih tebal dan nge-rock daripada drum lainnya.
-Drumhead sangat kuat dan mudah di tune.
-YESS tom mount memisahkan tom holder dgn badan tom sehingga suara lebih bulat.
-Warna snare drum disesuaikan dengan warna drum yg digunakan. Sehingga terlihat lebih professional.
-Stand hihat cukup besar dan kakinya dapat diputar sehingga memudahkan kita untuk dapat menaruh pedal dimana saja.
-Hardware sangat memuaskan dengan fleksibilitasnya dan kuat.
-Shell snare drum terbuat dari kayu sehingga suaranya lebih professional dan natural.
-Posisi tom-tom san
gat fleksible serta dapat dimaju-mundurkan sesuai selera.
-Optional seperti tom 8” sampai 18”, snare 10” sampai 14”, bass drum dari 20” – 24”, double pedal, cymbal stand/holder sangat mudah didapat dan harganya sangat terjangkau.

Kekurangan:
Harga drumset ini lebih mahal sedikit dibandingkan ke-3 merk lainnya.


Sonor Force 2001













Kelebihan:


-Mempunyai tone suara yg cukup bagus, suara tom-tom tebal dan suara snare cukup besar.
-Pedal yg lincah dan halus.
-Tom mount cukup fleksible tapi…
-Suara bass drum cukup besar dan boomy.
-Sudah menggunakan tuner rod yg biasa, sehingga bisa menggunakan drum key apa saja. (seri Sonor terdahulu mempunyai Tuner Rod yg aneh)
-Hardware kokoh.

Kekurangan:

-Walupun tom mount cukup fleksible, penempatan tom-tom tetap sulit untuk dilakukan karena tom-tom sering kali terpentok dengan tom mount itu sendiri.
-Hardware agak aneh untuk digunakan karena pemutarnya menyusahkan drummer untuk melepas dan mengendorkan.
-Stand Hihat tidak dapat diputar sehingga sulit untuk menaruh dan menggunakan double pedal.
-Drumhead terlalu tipis sehingga mudah cedok.


Pearl Export


















Kelebihan

Suara cukup memuaskan
Harga relatif murah, hampir sama dengan Tama Rockstar.
Looks dari Peral Export yg baru tidak jauh beda dgn deri Master, karena juga menggunakan ISS tom-mount seperti pada seri Master terdahulu. (seri drum Pearl kelas atas)
Suara snare sangat memuaskan.
Pedal sangat halus dan cepat.
ISS tom mount memisahkan tom holder dgn badan tom sehingga suara lebih bulat.
Stand hihat cukup besar dan kakinya dapat diputar sehingga memudahkan kita untuk dapat menaruh pedal dimana saja.
Hardware sangat kuat.

Kekurangan

Suara masih kurang tebal dan bulat. Untuk dapat memperoleh suara yg lebih sebaiknya mengganti drumhead terlebih dahulu.
Tom mount cukup kaku sehingga sulit untuk mendapatkan posisi yg diinginkan.

Senin, 26 Oktober 2009

Sebuah Catatan Sejarah Jazz di Indonesia

Figur kebapakan ini sebenarnya pada awalnya ingin dirinya menjadi seorang musisi, namun tidak kesampaian. Jadinya akhirnya hanya mendengarkan saja. Meskipun hanya menjadi salah satu pecinta musik jazz namun dari pengalamannya sarat akan cuplikan-cuplikan perkembangan dan sejarah musik jazz di Indonesia. Kenal dengan musik jazz sejak jaman perang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940an sampai beliau banyak terlibat dan menjadi orang di belakang layar berbagai kegiatan musik jazz di Indonesia, terutama di Bandung.

Dengan didukung oleh banyaknya dokumentasi tentang jazz dan ribuan album jazz di rumahnya, saat ini beliau merencanakan untuk menerbitkan sebuah buku musik jazz. Dari sekilas wawancara dengan WartaJazz di Radio Bikima FM Yogyakarta, terungkap bahwa di Indonesia telah ada sebuah group jazz pada tahun 1922. Tentunya akan lebih puas kalau kita menunggu buku tersebut dapat terbit dan hal yang penting barangkali apa yang sudah dapat dipaparkan beliau dalam buku tersebut dapat menjadi refleksi kita semua mengenai kemunculan musik jazz di Indonesia.


Warta Jazz (WJ): Kabarnya sedang mempersiapkan untuk meluncurkan sebuah buku mengenai musik jazz?

Sudibyo Pr (SP): Sekarang sedang menulis buku, kira-kira baru 90 % selesai.

WJ: Apa motivasi anda untuk menulis buku jazz?

SP: Sebetulnya dalam upaya mengkomunikasikan dan mensosialisasikan musik jazz. Karena kebanyakan buku musik jazz di sini kebanyakan dalam bahasa Inggris dan belum banyak buku mengenai musik jazz yang berbahasa Indonesia. Dan saya sendiri tentunya sebagai pecinta musik jazz, ingin mencoba untuk berbagi pengalaman saya untuk lebih mengkomunikasikannya kepada generasi baru.

WJ: Apakah anda memang melihat bahwa jazz di Indonesia itu belum memasyarakat?

SP : Saya kira memang masih banyak sekali salah citra, salah pengertian. Kita sebagai pecinta jazz sebenarnya juga berkeinginan untuk menaikkan status jazz sebagai seni. Namun sampai sekarang saya juga masih mengerti bahwa di Indonesia keadaannya masih demikian ini. Di Amerika Serikat sendiri bahwa jazz sebelum tahun 1950an sebenarnya agak diabaikan masyarakat juga. Setelah Eropa menerima jazz dengan serius, Amerika baru mulai. Dan apa yang ada di Indonesia menurut saya masih wajar dan itu merupakan salah satu usaha saja. Memang sudah pernah ada satu buku diterbitkan berjudul Jazz Indonesia, yang isinya memang hanya menceritakan musisi-musisi atau siapa saja yang pernah memainkan jazz. Dengan beberapa campuran para tokoh jazz dan biografinya. Selain itu, dalam buku jazz saya mungkin agak lain yang sifatnya adalah guide book of history.

WJ: Kira-kira apa saja yang ditulis di dalam buku itu?

SP: Pertama kalinya kira-kira diawali dengan what is jazz, kesalahkaprahan dan segala macam untuk kita coba luruskan pengertiannya. Terutama mengenal bahwa jazz itu sangat berbeda dengan musik lainnya. Sebab selama kita melihat musik jazz dengan kaca mata musik Eropa maka selalu akan meleset. Jadi memang jazz perlu pendekatan dengan cara yang lain dan mungkin tidak ada di musik yang lain. Di dalam buku itu memang saya jelaskan, terutama membandingkannya dengan musik Eropa. Musik Eropa adalah musik komposisi. Sesuatu musik yang dibangun dan harus dimainkan seperti apa yang tertulis. Jadi kalau orang melukis seperti melukis foto. Kalau jazz justru kebalikannya, dia justru mengekspresikan diri serta yang diutamakan adalah performance bukan komposisi. Apakah itu jazz atau bukan, setelah dimainkan orang baru mengetahui bahwa itu jazz atau bukan. Jadi kalau mainnya seperti ini jazz dan kalau mainkan seperti itu bukan jazz. Jika dalam musik klasik, saya memainkan partitur sudah dapat dibilang saya memainkan musik klasik dan kalau bermain jazz yang nanti dulu, kita dengar dulu. Sebenarnya komposisi itu dibuat oleh si musisi itu sendiri ketika dia sedang bermain. Komposisi yang dipakai di sini hanya sebagai landasan untuk improvisasi dan membangun melodinya itu sendiri.



WJ: Apakah hal ini yang membuat kesan musik jazz di masyarakat kita terasa sulit dipahami, sebuah musik kelas atas?

SP : Kalau musik jazz menjadi sulit memang dapat dimengerti juga. Kalau sampai sekarang ada kesan bahwa musik jazz hanya untuk kelas atas, memang sejak awalnya di Indonesia musik jazz dimainkan di hotel-hotel berbintang. Karena pada waktu itu memang sulit meminta club-club atau café yang kecil untuk menampilkan musik jazz. Dari aspek komersial mereka mereka tidak ada yang berani. Mereka menganggap bahwa jazz masih terlalu asing dan juga kebetulan para manager hotel-hotel tersebut juga pecinta jazz dan juga banyak kawan kita di sana sehingga akhirnya di sana jazz mulai dimainkan. Karena hotel-hotel tersebut adalah hotel berbintang sehingga yang datang juga kebanyakan dari kalangan menengah ke atas. Hal ini memberikan kesan bahwa mereka membuat kelompok yang eksklusif. Barangkali benar, namun bahwa eksklusifme musik jazz itu lebih banyak dalam hal artistiknya bukan dari segi gengsinya. Sebetulnya mereka karena mencintai musik jazz dan cocok dengan kelompok-kelompok tertentu sehingga terbentuk suatu kelompok. Memang sampai sekarang jazz kebanyakan masih banyak dimainkan di hotel-hotel besar dan belum banyak dimainkan di tempat-tempat yang lain walaupun sekarang ini sedikit demi sedikit sudah dimulai (dimainkan ditempat lain juga -red).

WJ: Kemudian pada masa lalu, apa saja yang sudah anda usahakan untuk mensosialisasikan musik jazz?

SP: Kita dahulu tidak menyelenggarakan di hotel-hotel namun di kampus. Pada awalnya masih sederhana. Pada waktu itu sumber jazz hanya dari radio dan ada beberapa musisi lokal. Sedangkan hiburan mahasiswa pada waktu itu ketika ada acara kumpul bersama setiap minggu. Di situ kita dapat putar-putar musik, dansa dan selalu mengundang beberapa musisi jazz. Setelah itu acara itu mereka bermain. Sering saya juga membawa beberapa rekaman jazz, akhirnya kawan-kawan yang suka jazz tetap tinggal dan yang lain mungkin pulang sedang kita sampai malam. Pada waktu itu saya memberanikan diri untuk mengadakan konser piringan hitam di ITB yang diputar setiap bulan purnama di lapangan basket. Saya kasih juga penjelasan seadanya sesuai dengan pengetahuan saya dengan rekaman dari piringan hitam dan turntable didukung dengan amplifier 50 watt yang rasanya sudah hebat waktu itu. Akhirnya cukup menyenangkan, 2 jam dengan musik jazz dan sehabis itu kita putar musik dansa. Awalnya demikian.

WJ: Apa sebenarnya kegiatan utama dari Pak Dibyo itu? Apakah kolumnis jazz? Atau yang lain?

SP: Kalau kegiatan saya banyak sekali. Namun profesi saya adalah arsitek, mantan dosen ITB, tetapi memang sejak jaman mahasiswa saya aktif dalam promoting jazz, mengenalkan jazz pada waktu belum banyak orang yang mengenal musik jazz, yang masih dianggap musik orang gila. Meskipun akhirnya membawa pengaruh juga.

WJ: Dulu anda kuliah di mana?

SP: Saya kuliah di ITB yang kemudian saya lanjutkan untuk belajar di Inggris dan Amerika.

WJ: Dalam buku tersebut, apakah ada semacam bagaimana cara menikmati musik jazz?

SP: Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang pertama adalah mengenal unsur-unsur musik jazz yaitu unsur-unsur yang membuat musik itu bisa disebut musik jazz. Bagian kedua adalah pengenal masing-masing unsur musik jazz itu dan sedikit banyak tentang struktur musik jazz. Berikutnya adalah sejarah musik jazz, yaitu dari lahirnya musik jazz. Kemudian adalah perkembangan gaya-gayanya, karena yang dikenal orang itu bahwa musik jazz itu sudah banyak sekali gayanya. Hal ini juga menandakan bahwa musik jazz sangat cepat sekali dalam perkembangannya, yang dalam satu abad perkembangannya sudah luar biasa. Kalau jaman musik klasik dari era ke era yang lainnya memakan waktu ratusan tahun. Memang banyak orang kalau mendengarkan jazz sekarang ini akan bingung. Banyak style dalam jazz. Apalagi kalau orangnya tidak mengenalnya. Dengan ini saya mencoba agar dapat membeda-bedakan antara satu style dengan style yang lain. Ada cerita lucu, jaman dulu di sini tidak ada sebuah group band yang memakai alat musik drum sedangkan yang memakainya hanya group jazz saja. Sehingga ada orang yang menyebut alat musik tersebut adalah jazz. Kalau ada orang bilang bahwa band itu punya jazz itu artinya band tersebut mempunyai drum.



WJ: Apakah sejarah jazz di Indonesia secara spesifik juga disinggung dalam buku tersebut?

SP: Ya, pada bagian akhir. Menurut data yang saya dapatkan bahwa jazz pertama kali dimainkan di Indonesia adalah sekitar tahun 1922. Jadi sebenarnya rekaman musik jazz pertama kalinya diproduksi di Amerika adalah pada tahun 1917. Sejak itu piringan hitam mulai menyebar ke seluruh dunia. Sebetulnya ada seorang musisi dari Belanda yang setelah lama di Amerika, dia juga pemain saksofon, datang ke Indonesia dengan kawan-kawannya dan membuat band. Pada waktu itu dianggap sebagai jazz band yang pertama di Indonesia. Dan saya perhatikan sejarahnya selama itu yang main adalah orang Indo-Belanda yang hampir 80% barangkali sedangkan yang pribumi sedikit sekali yang bermain musik jazz. Memang kalau dibaca nama-namanya memang nama Belanda namun kalau dilihat orangnya sebenarnya orang dari Jember, Banyuwangi dan sebagainya. Mengapa begitu? Saya belum menemukan alasan yang tepat namun hal ini patut diselidiki juga. Ada juga sumber yang menyebutkan sekitar tahun 1925 - 1927 banyak orang Philipina masuk Jakarta dan sebagian besar mereka adalah musisi. Hal ini juga membawa pengaruh. Sampai sekarang masih ada sisanya, kalau di Bandung masih ada musisi yang namanya Benny Pablo, Benny Corda, termasuk kepala orkes radio di Bandung, Sambayong itu adalah orang Philipina yang merupakan musisi jazz yang datang ke Indonesia pada tahun 1925.

WJ: Sebenarnya pusat perkembangannya di mana?

SP: Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya dan Makasar. Dulu awalnya jazz dimainkan oleh kelompok militer yang biasanya mereka bermain untuk masyarakat papan atas-nya Belanda dan orang-orang Indonesia yang termasuk haknya disamakan oleh orang Belanda. Jaman dulu mereka bermain di Societet, sedangkan orang Indonesia yang dapat masuk gedung itu bisa dihitung dan bahkan jazz sudah masuk istana. Kita lihat saja, pada waktu jaman Belanda orang Indonesia yang sudah mempunyai grammaphon itu siapa? Barangkali Sri Sultan saja. Lagian orang Indonesia pada kedudukan sosial seperti itu tentunya mereka ingin disejajarkan dengan bangsa Belanda, yang lebih senang bergabung dalam acara-acara pesta, dansa dengan orang Belanda. Di Amerika pun pada waktu itu musik jazz masih pada tahap awal, yaitu lebih banyak sebagai musik hiburan, belum sampai seperti keadaanya sekarang yang sebagian orang menilai musik jazz sebagai salah satu bentuk seni.

WJ: Pada masa-masa itu, apakah ada seorang pribumi yang bermain musik jazz?

SP: Ada. Dalam laporan yang saya dapatkan itu menyebutkan bahwa pemain musik jazz pribumi dari Indonesia pertama kalinya adalah orang Aceh.

WJ: Apa benar beberapa dari para pejuang kemerdekaan kita atau dari Tentara Pelajar-nya ikut serta bermain jazz untuk menghibur orang-orang Belanda?

SP: Itu bukan Tentara Pelajarnya, namun perorangan saja. Kebetulan saya juga dari TP dan ada beberapa kawan dari Yogyakarta yang juga salah satu tokoh TP yang kita kenal dengan nama panggilan mas Pung. Dia memang seorang musisi juga, kemudian banyak teman-teman saya sekolah di Yogyakarta yang pindah ke Jakarta sekitar tahun 1948. Ada dulu bersama kawan saya dari Ambon yang bernama Rudi Wayrata (tinggal Lempuyangan, Yogya) dan Teis Matulesi, Edi Laluyan dari Menado kemudian di Jakarta membentuk band. Band tersebut pada waktu itu memainkan lagu-lagu Hawain dan lagu-lagu pop, meskipun gaya Hawain itu dalam beberapa solo gitarnya sudah mulai agak ke arah musik jazz. Jadi mereka meninggalkan Yogyakarta ke Jakarta. Pada suatu waktu mas Pung dan saya mempunyai ide, mengapa vokal group kita membuat aransemen-aransemen jazz. Sehingga pada waktu itu, karena mas Pung juga seorang aransir yang cukup handal, sudah mulai membuat aransemen yang sekarang mungkin seperti Manhattan Transfer walaupun iringannya masih sederhana. Sampai akhirnya bermain di studio RRI (waktu itu masih di bawah Belanda) dan diketemukan oleh Jos Cleber (seorang pemimpin orkes Belanda). Waktu dia melihat kita bermain dia berkomentar, "kalian ini sebetulnya mempunyai vokal group yang baik sekali, cuman ada baiknya saya carikan seorang pengiring jazz yang benar". Akhirnya ditemukan oleh sebuah trio (piano: Doddy Hughes; Drum: Boetje Pesolima; Bass: Dick Van Der Capellen) dan ditawari untuk menghibur tentara Belanda. Jadi kalau apa yang kami lakukan waktu itu diketahui oleh teman-teman di Yogya malah nanti dianggap pengkhianat. Kemudian juga pernah tampil dengan Nick Mamahit.



WJ: Selain nama-nama seperti Jack Lesmana, Bubi Chen dan yang lainnya, kiranya siapa saja tokoh-tokoh penting jazz di Indonesia selain atau sebelum genarasi mereka?

SP: Tergantung dari mana kita memulainya. Kalau kita mulai sejak awal Republik Indonesia mungkin kita kenal, meskipun mereka sudah meninggal dunia, antara lain Boetje Pesolima, Dick Van Der Capellen, Tjok Sin Soe (sebelum tahun 1950an sudah main), Sigar Lucky Brothers (tetapi sejak ada anggapan bahwa musik jazz tidak mempunyai masa depan di Indonesia mereka pergi ke California) juga Nick Mamahit (dia yang pernah mendapatkan pendidikan formalnya di Belanda), Iskandar (bapaknya Diah Iskandar) dia adalah pemain saksofon dan aransir yang sudah cukup maju, meskipun permainannya belum setaraf dengan aransemennya (hasil aransemennya baik sekali dibawakan oleh orang lain dan pernah dibawakan di sebuah festival jazz di Amerika). Selain itu Etto Lattumeten dia membuat Dixieland band yang terkenal The Old Timer di Jakarta. Pada awal kemerdekaan ada juga seorang pianis yang baik adalah Marihut Hutabarat, yang pada waktu itu disebut 'George Shearing-nya Indonesia'. Dia adalah seorang Sarjana Hukum yang meninggal karena kecelakaan. Dan dia yang terbaik setelah Nick Mamahit. Baru setelah itu masuk generasinya Bill Saragih, Paul Hutabarat, Eddie Gatot, Bing Slamet. Bing Slamet sebetulnya seorang vokalis yang hebat dan seorang gitaris jazz, meskipun orang lebih mengenalnya sebagai pelawak dari pada seorang pemain jazz. Pada era perang kemerdekaan dulu, Bing Slamet termasuk dari salah satu 3 penyanyi ternama di Indonesia (Sam Saimun dan Mantovani). Tambahan 'Bing' dalam namanya karena dia adalah pengagum berat dari Bing Crosby.

WJ: Apakah dalam buku itu juga terdapat apresiasi anda sendiri terhadap perkembangan musik jazz di Indonesia saat ini?

SP: Ada sedikit komentar mengenai hal itu. Mungkin juga ada beberapa kritik mengenai penyelenggaraan festival jazz. Mengenai perkembangan musik jazz di sini yang sebenarnya dari penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta ini, masih terlalu sedikit untuk pemain jazz-nya. Jadi kalau kita perhatikan dari berbagai acara jazz yang diselenggarakan akan kembali ke nama itu-itu saja, belum banyak nama-nama baru. Prosesnya masih lamban. Barangkali hal itu terjadi dilihat dari sejarah musik populer dimana pada tahun 1930an itu musiknya adalah jazz. Karena jazz pada waktu itu mudah untuk irama pengiring dansa dan untuk anak muda akan mudah sekali aksesnya. Tetapi setelah tahun 1960an jazz semakin lama semakin komplek dan rumit sehingga banyak remaja semakin menjauhi. Sedangkan di luar musik jazz sedang terjadi tren remaja yang mulai menggelinding dan membesar yaitu rock n roll. Akhirnya banyak remaja yang lari ke sana. Kalau dulu kita dapat 1 piringan hitam dari Amerika saja sudah rebutan dan ramai-ramai mendengarkan radio. Ada juga kekaguman itu muncul karena banyak musisi jazz di Indonesia pada masa lalu hanya belajar dari siaran radio yang menjadikan mereka musisi yang kreatif dan besar, contohnya; Jack Lesmana dan sebagainya. Sekarang kita begitu banyak sumber bahkan luar biasa. Ada MTV, subkultur pop yang banyak menyedot remaja ke sana. Sehingga kalau ada remaja senang musik jazz malah dikatakan remaja "aneh". Meskipun di setiap jamannya, remaja selalu terpanggil oleh pulsa-pulsa tertentu. Dengan adanya fusion itu ada segi positifnya juga. Ada beat fusion masuk jazz sehingga ada perhatian dan remaja mulai tertarik dengan jazz rock dengan harapan mereka akan tertarik juga ke dalam musik jazz itu sendiri, tetapi ada juga yang tidak. Ini juga bisa berfungsi sebagai jembatan awal. Sama saja sekarang orang senang dengan Kenny G, awalnya orang mengira kalau Kenny G juga seorang pemain jazz. Tetapi itu juga sebuah awal yang baik, karena remaja mulai senang dengan musik instrumental. Biasanya "pahlawannya" kan solo vokalis, dengan mendengar Kenny G yang seorang pemain saksofon, mungkin mereka akan mencari pemain saksofon yang lain. Apresiasi selalu melewati jalur-jalur tertentu. Tahun 1960an mungkin waktu bossa nova masuk banyak orang menjadi suka musik jazz.

WJ: Kapan kira-kira buku ini dapat diterbitkan?

SP: Nanti, tergantung publishernya dan masih perlu sponsor sebetulnya. Dalam buku tersebut juga saya analisis juga sejarah setiap instrumennya. Sekaligus saya berikan juga album-album pilihan dari banyak musisi jazz.



WJ: Bagaimana awalnya bertemu dengan tokoh-tokoh pecinta jazz atau di HPMJI (Himpunan Penggemar Musik Jazz Indonesia)?

SP: Pada waktu itu jazz sudah mulai ramai. Bertambahnya pemain lokal di Bandung sedangkan kalau di Jakarta di USIS setiap 2 minggu sekali mengadakan pertunjukan jazz. Kemudian mereka pernah meminta saya untuk mengorganisir sebuah pertunjukan jazz di Bandung dan acara tersebut sukses. Setelah itu mereka sering meminta bantuan saya untuk mencarikan musisi kalau ada acara di USIS. Tugas saya dulu ke sana ke mari mencari musisi dan mengatur beberapa programnya. Akhirnya saya terlibat juga dengan HPMJI dan para pemain musik jazz yang hubungannya cukup dekat. Bubi Chen waktu itu belum dikenal. Hanya saya mempunyai kawan di Surabaya yang kenal dengan Bubi. Jadi pada waktu Tony Scott datang, Jack Lesmana bilang bahwa di Surabaya ada seorang keturunan Cina yang bisa main blues dan bebop. Pada awalnya tidak percaya. Setelah diajak ke rumah Bubi Chen yang pada waktu itu masih muda, kurang lebih umur 24 tahun, bangun tidur dan sedang memakai sarung. Begitu Bubi main, Tony Scott langsung bicara,"Orang ini harus main dengan saya".

WJ: Menurut beberapa sumber, anda juga terlibat di dalam proyek Indonesian All Stars sempat menghasilkan album dan ketika tampil di Berlin Jazz Festival pada tahun 1967?

SP: Ini memang yang pertama kali kalau dikatakan ada group jazz dari Indonesia "Go Internasional". Kalau menurut ceritanya kurang lebih pada awalnya adalah kunjungan Tony Scott di Indonesia. Di sini dia sempat bermain dengan Bubi Chen, Maryono dan Jack Lesmana sampai akhirnya mereka menjadi sahabat yang kental maupun sebagai guru. Karena Tony Scott memang salah seorang pemain klarinet, yang pada waktu itu permainannya progresif katakanlah. Dia pernah bermain dengan Charlie Parker, Billie Holiday dan sebagainya. Tetapi karena sesuatu hal dia harus segera meninggalkan Indonesia, sehingga dia tidak terlalu lama di sini. Kebetulan juga Tony Scott juga berkawan baik dengan seorang kritikus musik jazz dari Jerman, Joachim Berendt. Dia pesan ke Berendt kalau ke Indonesia jangan lupa hubungi Jack Lesmana. Kemudian Berendt ke Jakarta dan dikenalkan dengan mas Yos (red- Suyoso Karsono). Sebetulnya dia adalah ipar Jack Lesmana dimana pada wakti itu dia mempunyai perusahaan rekaman (Irama Records). Setelah mereka berdialog tentang kemungkinan mengirim group dari Indonesia. Itu atas usul Tony Scott. Akhirnya mereka membuat beberapa rekaman di Jakarta dan kemudian dikirimkan ke Jerman untuk di mainkan di beberapa stasiun radio di sana sebagai warming up. Setelah itu dibentuklah Indonesian All Stars. Karena mereka terus menerus berlatih selama 2 bulan, akhirnya mereka semua di boyong ke Jakarta tinggal di rumahnya Mas Yos. Hal ini disebabkan pada waktu itu Jack Lesmana dan Bubi Chen masih di Surabaya. Dan berangkat juga ke Eropa. Memang sesuai rencananya mereka melakukan tour di Eropa dengan puncaknya ikut serta di Berlin Jazz Festival. Tetapi mereka mengalami musibah. Setelah tournya sukses, sesampainya di Berlin, Maryono jatuh sakit keras. Jadi dalam festival itu Indonesian All Stars tidak jadi tampil, tetapi Bubi sendiri main. Jadi pada waktu itu panitia di sana memilih International All Stars Band dimana para personilnya dipilih dari berbagai negara dan Bubi terpilih sebagai pemain pianonya. Sejak itu, nama Bubi mulai dikenal oleh para kritikus jazz. Dan majalah Downbeat pada edisi akhir tahun 1967 namanya sudah mulai disebut "the best in Asia" dan "one of the best in the world".

Selasa, 20 Oktober 2009

SEJARAH MUSIK ROCK INDONESIA

Awal Mula

Embrio kelahiran scene musik rock underground di Indonesia sulit dilepaskan dari evolusi rocker-rocker pionir era 70-an sebagai pendahulunya. Sebut saja misalnya God Bless, Gank Pegangsaan, Gipsy (Jakarta), Giant Step, Super Kid (Bandung), Terncem (Solo), AKA/SAS (Surabaya), Bentoel (Malang) hingga Rawe Rontek dari Banten. Mereka inilah generasi pertama rocker Indonesia. Istilah underground sendiri sebenarnya sudah digunakan Majalah Aktuil sejak awal era 70- an. Istilah tersebut digunakan majalah musik dan gaya hidup pionir asal Bandung itu untuk mengidentifikasi band-band yang memainkan musik keras dengan gaya yang lebih `liar’ dan `ekstrem’ untuk ukuran jamannya. Padahal kalau mau jujur, lagu-lagu yang dimainkan band- band tersebut di atas bukanlah lagu karya mereka sendiri, melainkan milik band-band luar negeri macam Deep Purple, Jefferson Airplane, Black Sabbath, Genesis, Led Zeppelin, Kansas, Rolling Stones hingga ELP. Tradisi yang kontraproduktif ini kemudian mencatat sejarah. Namanya sempat mengharum di pentas nasional. Sebut saja misalnya El Pamas, Grass Rock (Malang), Power Metal (Surabaya), Adi Metal Rock (Solo), Val Halla (Medan) hingga Roxx (Jakarta). Selain itu Log jugalah yang membidani lahirnya label rekaman rock yang pertama di Indonesia, Logiss Records. Produk pertama label ini adalah album ketiga God Bless, “Semut Hitam” yang dirilis tahun 1988 dan ludes hingga 400.000 kaset di seluruh Indonesia.

Menjelang akhir era 80-an, di seluruh dunia waktu itu anak-anak muda sedang mengalami demam musik thrash metal. Sebuah perkembangan style musik metal yang lebih ekstrem lagi dibandingkan heavy metal. Band- band yang menjadi gods-nya antara lain Slayer, Metallica, Exodus, Megadeth, Kreator, Sodom, Anthrax hingga Sepultura. Kebanyakan kota- kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surabaya, Malang hingga Bali, scene undergroundnya pertama kali lahir dari genre musik ekstrem tersebut. Di Jakarta sendiri komunitas metal pertama kali tampil di depan publik pada awal tahun 1988. Komunitas anak metal (saat itu istilah underground belum populer) ini biasa hang out di Pid Pub, sebuah pub kecil di kawasan pertokoan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Menurut Krisna J. Sadrach, frontman Sucker Head, selain nongkrong, anak-anak yang hang out di sana oleh Tante Esther, owner Pid Pub, diberi kesempatan untuk bisa manggung di sana. Setiap malam minggu biasanya selalu ada live show dari band-band baru di Pid Pub dan kebanyakan band-band tersebut mengusung musik rock atau metal.

Band-band yang sering hang out di scene Pid Pub ini antara lain Roxx (Metallica & Anthrax), Sucker Head (Kreator & Sepultura), Commotion Of Resources (Exodus), Painfull Death, Rotor (Kreator), Razzle (GN’R), Parau (DRI & MOD), Jenazah, Mortus hingga Alien Scream (Obituary). Beberapa band diatas pada perjalanan berikutnya banyak yang membelah diri menjadi band-band baru. Commotion Of Resources adalah cikal bakal band gothic metal Getah, sedangkan Parau adalah embrio band death metal lawas Alien Scream. Selain itu Oddie, vokalis Painfull Death selanjutnya membentuk grup industrial Sic Mynded di Amerika Serikat bersama Rudi Soedjarwo (sutradara Ada Apa Dengan Cinta?). Rotor sendiri dibentuk pada tahun 1992 setelah cabutnya gitaris Sucker Head, Irvan Sembiring yang merasa konsep musik Sucker Head saat itu masih kurang ekstrem baginya.

Semangat yang dibawa para pendahulu ini memang masih berkutat pola tradisi `sekolah lama’, bangga menjadi band cover version! Di antara mereka semua, hanya Roxx yang beruntung bisa rekaman untuk single pertama mereka, “Rock Bergema”. Ini terjadi karena mereka adalah salah satu finalis Festival Rock Se-Indonesia ke-V. Mendapat kontrak rekaman dari label adalah obsesi yang terlalu muluk saat itu. Jangankan rekaman, demo rekaman bisa diputar di radio saja mereka sudah bahagia. Saat itu stasiun radio yang rutin mengudarakan musik- musik rock/metal adalah Radio Bahama, Radio Metro Jaya dan Radio SK. Dari beberapa radio tersebut mungkin yang paling legendaris adalah Radio Mustang. Mereka punya program bernama Rock N’ Rhythm yang mengudara setiap Rabu malam dari pukul 19.00 – 21.00 WIB. Stasiun radio ini bahkan sempat disatroni langsung oleh dedengkot thrash metal Brasil, Sepultura, kala mereka datang ke Jakarta bulan Juni 1992. Selain medium radio, media massa yang kerap mengulas berita- berita rock/metal pada waktu itu hanya Majalah HAI, Tabloid Citra Musik dan Majalah Vista.

Selain hang out di Pid Pub tiap akhir pekan, anak-anak metal ini sehari-harinya nongkrong di pelataran Apotik Retna yang terletak di daerah Cilandak, Jakarta Selatan. Beberapa selebritis muda yang dulu sempat nongkrong bareng (groupies?) anak-anak metal ini antara lain Ayu Azhari, Cornelia Agatha, Sophia Latjuba, Karina Suwandi hingga Krisdayanti. Aktris Ayu Azhari sendiri bahkan sempat dipersunting sebagai istri oleh (alm) Jodhie Gondokusumo yang merupakan vokalis Getah dan juga mantan vokalis Rotor.

Tak seberapa jauh dari Apotik Retna, lokasi lain yang sering dijadikan lokasi rehearsal adalah Studio One Feel yang merupakan studio latihan paling legendaris dan bisa dibilang hampir semua band- band rock/metal lawas ibukota pernah rutin berlatih di sini. Selain Pid Pub, venue alternatif tempat band-band rock underground manggung pada masa itu adalah Black Hole dan restoran Manari Open Air di Museum Satria Mandala (cikal bakal Poster Café). Diluar itu, pentas seni MA dan acara musik kampus sering kali pula di “infiltrasi” oleh band-band metal tersebut. Beberapa pensi yang historikal di antaranya adalah Pamsos (SMA 6 Bulungan), PL Fair (SMA Pangudi Luhur), Kresikars (SMA 82), acara musik kampus Universitas Nasional (Pejaten), Universitas Gunadarma, Universitas Indonesia (Depok), Unika Atmajaya Jakarta, Institut Teknologi Indonesia (Serpong) hingga Universitas Jayabaya (Pulomas).

Berkonsernya dua supergrup metal internasional di Indonesia, Sepultura (1992) dan Metallica (1993) memberi kontribusi cukup besar bagi perkembangan band-band metal sejenis di Indonesia. Tak berapa lama setelah Sepultura sukses “membakar” Jakarta dan Surabaya, band speed metal Roxx merilis album debut self-titled mereka di bawah label Blackboard. Album kaset ini kelak menjadi salah satu album speed metal klasik Indonesia era 90-an. Hal yang sama dialami pula oleh Rotor. Sukses membuka konser fenomenal Metallica selama dua hari berturut-turut di Stadion Lebak Bulus, Rotor lantas merilis album thrash metal major labelnya yang pertama di Indonesia, Behind The 8th Ball (AIRO). Bermodalkan rekomendasi dari manajer tur Metallica dan honor 30 juta rupiah hasil dua kali membuka konser Metallica, para personel Rotor (minus drummer Bakkar Bufthaim) lantas eksodus ke negeri Paman Sam untuk mengadu nasib. Sucker Head sendiri tercatat paling telat dalam merilis album debut dibanding band seangkatan mereka lainnya. Setelah dikontrak major label lokal, Aquarius Musikindo, baru di awal 1995 mereka merilis album `The Head Sucker’. Hingga kini Sucker Head tercatat sudah merilis empat buah album.

Dari sedemikian panjangnya perjalanan rock underground di tanah air, mungkin baru di paruh pertama dekade 90-anlah mulai banyak terbentuk scene-scene underground dalam arti sebenarnya di Indonesia. Di Jakarta sendiri konsolidasi scene metal secara masif berpusat di Blok M sekitar awal 1995. Kala itu sebagian anak-anak metal sering terlihat nongkrong di lantai 6 game center Blok M Plaza dan di sebuah resto waralaba terkenal di sana. Aktifitas mereka selain hang out adalah bertukar informasi tentang band-band lokal daninternasional, barter CD, jual-beli t-shirt metal hingga merencanakan pengorganisiran konser. Sebagian lagi yang lainnya memilih hang out di basement Blok Mall yang kebetulan letaknya berada di bawah tanah.

Pada era ini hype musik metal yang masif digandrungi adalah subgenre yang makin ekstrem yaitu death metal, brutal death metal, grindcore, black metal hingga gothic/doom metal. Beberapa band yang makin mengkilap namanya di era ini adalah Grausig, Trauma, Aaarghhh, Tengkorak, Delirium Tremens, Corporation of Bleeding, Adaptor, Betrayer, Sadistis, Godzilla dan sebagainya. Band grindcore Tengkorak pada tahun 1996 malah tercatat sebagai band yang pertama kali merilis mini album secara independen di Jakarta dengan judul `It’s A Proud To Vomit Him’. Album ini direkam secara profesional di Studio Triple M, Jakarta dengan sound engineer Harry Widodo (sebelumnya pernah menangani album Roxx, Rotor, Koil, Puppen dan PAS).

Tahun 1996 juga sempat mencatat kelahiran fanzine musik underground pertama di Jakarta, Brainwashed zine. Edisi pertama Brainwashed terbit 24 halaman dengan menampilkan cover Grausig dan profil band Trauma, Betrayer serta Delirium Tremens. Di ketik di komputer berbasis system operasi Windows 3.1 dan lay-out cut n’ paste tradisional, Brainwashed kemudian diperbanyak 100 eksemplar dengan mesin foto kopi milik saudara penulis sendiri. Di edisi-edisi berikutnya Brainwashed mengulas pula band-band hardcore, punk bahkan ska. Setelah terbit fotokopian hingga empat edisi, di tahun 1997 Brainwashed sempat dicetak ala majalah profesional dengan cover penuh warna. Hingga tahun 1999 Brainwashed hanya kuat terbit hingga tujuh edisi, sebelum akhirnya di tahun 2000 penulis menggagas format e-zine di internet (www.bisik.com). Media-media serupa yang selanjutnya lebih konsisten terbit di Jakarta antara lain Morbid Noise zine, Gerilya zine, Rottrevore zine, Cosmic zine dan sebagainya.

29 September 1996 menandakan dimulainya sebuah era baru bagi perkembangan rock underground di Jakarta. Tepat pada hari itulah digelar acara musik indie untuk pertama kalinya di Poster Café. Acara bernama “Underground Session” ini digelar tiap dua minggu sekali pada malam hari kerja. Café legendaris yang dimiliki rocker gaek Ahmad Albar ini banyak melahirkan dan membesarkan scene musik indie baru yang memainkan genre musik berbeda dan lebih variatif. Lahirnya scene Brit/indie pop, ledakan musik ska yang fenomenal era 1997 – 2000 sampai tawuran massal bersejarah antara sebagian kecil massa Jakarta dengan Bandung terjadi juga di tempat ini. Getah, Brain The Machine, Stepforward, Dead Pits, Bloody Gore, Straight Answer, Frontside, RU Sucks, Fudge, Jun Fan Gung Foo, Be Quiet, Bandempo, Kindergarten, RGB, Burning Inside, Sixtols, Looserz, HIV, Planet Bumi, Rumahsakit, Fable, Jepit Rambut, Naif, Toilet Sounds, Agus Sasongko & FSOP adalah sebagian kecil band-band yang `kenyang’ manggung di sana.

10 Maret 1999 adalah hari kematian scene Poster Café untuk selama- lamanya. Pada hari itu untuk terakhir kalinya diadakan acara musik di sana (Subnormal Revolution) yang berujung kerusuhan besar antara massa punk dengan warga sekitar hingga berdampak hancurnya beberapa mobil dan unjuk giginya aparat kepolisian dalam membubarkan massa. Bubarnya Poster Café diluar dugaan malah banyak melahirkan venue- venue alternatif bagi masing-masing scene musik indie. Café Kupu- Kupu di Bulungan sering digunakan scene musik ska, Pondok Indah Waterpark, GM 2000 café dan Café Gueni di Cikini untuk scene Brit/indie pop, Parkit De Javu Club di Menteng untuk gigs punk/hardcore dan juga indie pop. Belakangan BB’s Bar yang super- sempit di Menteng sering disewa untuk acara garage rock-new wave-mellow punk juga rock yang kini sedang hot, seperti The Upstairs, Seringai, The Brandals, C’mon Lennon, Killed By Butterfly, Sajama Cut, Devotion dan banyak lagi. Di antara semuanya, mungkin yang paling `netral’ dan digunakan lintas-scene cuma Nirvana Café yangterletak di basement Hotel Maharadja, Jakarta Selatan. Di tempat ini pulalah, 13 Januari 2002 silam, Puppen `menghabisi riwayat’ mereka dalam sebuah konser bersejarah yang berjudul, “Puppen : Last Show Ever”, sebuah rentetan show akhir band Bandung ini sebelum membubarkan diri.



Scene Punk/Hardcore/Brit/ Indie Pop

Invasi musik grunge/alternative dan dirilisnya album Kiss This dari Sex Pistols pada tahun 1992 ternyata cukup menjadi trigger yang ampuh dalam melahirkan band-band baru yang tidak memainkan musik metal. Misalnya saja band Pestol Aer dari komunitas Young Offender yang diawal kiprahnya sering meng-cover lagu-lagu Sex Pistols lengkap dengan dress-up punk dan haircut mohawknya. Uniknya, pada perjalanan selanjutnya, sekitar tahun 1994, Pestol Aer kemudian mengubah arah musik mereka menjadi band yang mengusung genre british/indie pop ala The Stone Roses. Konon, peristiwa historik ini kemudian menjadi momen yang cukup signifikan bagi perkembangan scene british/indie pop di Jakarta. Sebelum bubar, di pertengahan 1997 mereka sempat merilis album debut bertitel `…Jang Doeloe’. Generasi awal dari scene brit pop ini antara lain adalah band Rumahsakit, Wondergel, Planet Bumi, Orange, Jellyfish, Jepit Rambut, Room-V, Parklife hingga Death Goes To The Disco.

Pestol Aer memang bukan band punk pertama, ibukota ini di tahun 1989 sempat melahirkan band punk/hardcore pionir Antiseptic yang kerap memainkan nomor-nomor milik Black Flag, The Misfits, DRI sampai Sex Pistols. Lukman (Waiting Room/The Superglad) dan Robin (Sucker Head/Noxa) adalah alumnus band ini juga. Selain sering manggung di Jakarta, Antiseptic juga sempat manggung di rockfest legendaris Bandung, Hullabaloo II pada akhir 1994. Album debut Antiseptic sendiri yang bertitel `Finally’ baru rilis delapan tahun kemudian (1997) secara D.I.Y. Ada juga band alternatif seperti Ocean yang memainkan musik ala Jane’s Addiction dan lainnya, sayangnya mereka tidak sempat merilis rekaman.

Selain itu, di awal 1990, Jakarta juga mencetak band punk rock The Idiots yang awalnya sering manggung meng-cover lagu-lagu The Exploited. Nggak jauh berbeda dengan Antiseptic, baru sembilan tahun kemudian The Idiots merilis album debut mereka yang bertitel `Living Comfort In Anarchy’ via label indie Movement Records. Komunitas-komunitas punk/hardcore juga menjamur di Jakarta pada era 90-an tersebut. Selain komunitas Young Offender tadi, ada pula komunitas South Sex (SS) di kawasan Radio Dalam, Subnormal di Kelapa Gading, Semi-People di Duren Sawit, Brotherhood di Slipi, Locos di Blok M hingga SID Gank di Rawamangun.

Sementara rilisan klasik dari scene punk/hardcore Jakarta adalah album kompilasi Walk Together, Rock Together (Locos Enterprise) yang rilis awal 1997 dan memuat singel antara lain dari band Youth Against Fascism, Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge dan sebagainya. Album kompilasi punk/hardcore klasik lainnya adalah Still One, Still Proud (Movement Records) yang berisikan singel dari Sexy Pig, The Idiots, Cryptical Death hingga Out Of Control.



Scene Bandung

Di Bandung sekitar awal 1994 terdapat studio musik legendaris yang menjadi cikal bakal scene rock underground di sana. Namanya Studio Reverse yang terletak di daerah Sukasenang. Pembentukan studio ini digagas oleh Richard Mutter (saat itu drummer PAS) dan Helvi. Ketika semakin berkembang Reverse lantas melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka distro (akronim dari distribution) yang menjual CD, kaset, poster, t-shirt, serta berbagai aksesoris import lainnya. Selain distro, Richard juga sempat membentuk label independen 40.1.24 yang rilisan pertamanya di tahun 1997 adalah kompilasi CD yang bertitel “Masaindahbangetsekalipisan.” Band-band indie yang ikut serta di kompilasi ini antara lain adalah Burger Kill, Puppen, Papi, Rotten To The Core, Full of Hate dan Waiting Room, sebagai satu- satunya band asal Jakarta.

Band-band yang sempat dibesarkan oleh komunitas Reverse ini antara lain PAS dan Puppen. PAS sendiri di tahun 1993 menorehkan sejarah sebagai band Indonesia yang pertama kali merilis album secara independen. Mini album mereka yang bertitel “Four Through The S.A.P” ludes terjual 5000 kaset dalam waktu yang cukup singkat. Mastermind yang melahirkan ide merilis album PAS secara independen tersebut adalah (alm) Samuel Marudut. Ia adalah Music Director Radio GMR, sebuah stasiun radio rock pertama di Indonesia yang kerap memutar demo-demo rekaman band-band rock amatir asal Bandung, Jakarta dan sekitarnya. Tragisnya, di awal 1995 Marudut ditemukan tewas tak bernyawa di kediaman Krisna Sucker Head di Jakarta. Yang mengejutkan, kematiannya ini, menurut Krisna, diiringi lagu The End dari album Best of The Doors yang diputarnya pada tape di kamar Krisna. Sementara itu Puppen yang dibentuk pada tahun 1992 adalah salah satu pionir hardcore lokal yang hingga akhir hayatnya di tahun 2002 sempat merilis tiga album yaitu, Not A Pup E.P. (1995), MK II (1998) dan Puppen s/t (2000). Kemudian menyusul Pure Saturday dengan albumnya yang self-titled. Album ini kemudian dibantu promosinya oleh Majalah Hai. Kubik juga mengalami hal yang sama, dengan cara bonus kaset 3 lagu sebelum rilis albumnya.

Agak ke timur, masih di Bandung juga, kita akan menemukan sebuah komunitas yang menjadi episentrum underground metal di sana, komunitas Ujung Berung. Dulunya di daerah ini sempat berdiri Studio Palapa yang banyak berjasa membesarkan band-band underground cadas macam Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanic Membrane, Infamy, Burger Kill dan sebagainya. Di sinilah kemudian pada awal 1995 terbit fanzine musik pertama di Indonesia yang bernama Revograms Zine. Editornya Dinan, adalah vokalis band Sonic Torment yang memiliki single unik berjudul “Golok Berbicara”. Revograms Zine tercatat sempat tiga kali terbit dan kesemua materi isinya membahas band-band metal/hardcore lokal maupun internasional.

Kemudian taklama kemudian fanzine indie seperti Swirl, Tigabelas, Membakar Batas dan yang lainnya ikut meramaikan media indie. Ripple dan Trolley muncul sebagai majalah yang membahas kecenderungan subkultur Bandung dan jug lifestylenya. Trolley bangkrut tahun 2002, sementara Ripple berubah dari pocket magazine ke format majalah standar. Sementara fanzine yang umumnya fotokopian hingga kini masih terus eksis. Serunya di Bandung tak hanya musik ekstrim yang maju tapi juga scene indie popnya. Sejak Pure Saturday muncul, berbagai band indie pop atau alternatif, seperti Cherry Bombshell, Sieve, Nasi Putih hingga yang terkini seperti The Milo, Mocca, Homogenic. Begitu pula scene ska yang sebenarnya sudah ada jauh sebelum trend ska besar. Band seperti Noin Bullet dan Agent Skins sudah lama mengusung genre musik ini.

Siapapun yang pernah menyaksikan konser rock underground di Bandung pasti takkan melupakan GOR Saparua yang terkenal hingga ke berbagai pelosok tanah air. Bagi band-band indie, venue ini laksana gedung keramat yang penuh daya magis. Band luar Bandung manapun kalau belum di `baptis’ di sini belum afdhal rasanya. Artefak subkultur bawah tanah Bandung paling legendaris ini adalah saksi bisu digelarnya beberapa rock show fenomenal seperti Hullabaloo, Bandung Berisik hingga Bandung Underground. Jumlah penonton setiap acara-acara di atas tergolong spektakuler, antara 5000 – 7000 penonton! Tiket masuknya saja sampai diperjualbelikan dengan harga fantastis segala oleh para calo. Mungkin ini merupakan rekor tersendiri yang belum terpecahkan hingga saat ini di Indonesia untuk ukuran rock show underground.

Sempat dijuluki sebagai barometer rock underground di Indonesia, Bandung memang merupakan kota yang menawarkan sejuta gagasan-gagasan cerdas bagi kemajuan scene nasional. Booming distro yang melanda seluruh Indonesia saat ini juga dipelopori oleh kota ini. Keberhasilan menjual album indie hingga puluhan ribu keping yang dialami band Mocca juga berawal dari kota ini. Bahkan Burger Kill, band hardcore Indonesia yang pertama kali teken kontrak dengan major label, Sony Music Indonesia, juga dibesarkan di kota ini. Belum lagi majalah Trolley (RIP) dan Ripple yang seakan menjadi reinkarnasi Aktuil di jaman sekarang, tetap loyal memberikan porsi terbesar liputannya bagi band-band indie lokal keren macam Koil, Kubik, Balcony, The Bahamas, Blind To See, Rocket Rockers, The Milo, Teenage Death Star, Komunal hingga The S.I.G.I.T. Coba cek webzine Bandung, Death Rock Star (www.deathrockstar.tk) untuk membuktikannya. Asli, kota yang satu ini memang nggak ada matinya!



Scene Jogjakarta

Kota pelajar adalah julukan formalnya, tapi siapa sangka kalau kota ini ternyata juga menjadi salah satu scene rock underground terkuat di Indonesia? Well, mari kita telusuri sedikit sejarahnya. Komunitas metal underground Jogjakarta salah satunya adalah Jogja Corpsegrinder. Komunitas ini sempat menerbitkan fanzine metal Human Waste, majalah Megaton dan menggelar acara metal legendaris di sana, Jogja Brebeg. Hingga kini acara tersebut sudah terselenggara sepuluh kali! Band-band metal underground lawas dari kota ini antara lain Death Vomit, Mortal Scream, Impurity, Brutal Corpse, Mystis, Ruction.

Untuk scene punk/hardcore/industrial-nya yang bangkit sekitar awal 1997 tersebutlah nama Sabotage, Something Wrong, Noise For Violence, Black Boots, DOM 65, Teknoshit hingga yang paling terkini, Endank Soekamti. Sedangkan untuk scene indie rock/pop, beberapa nama yang patut di highlight adalah Seek Six Sick, Bangkutaman, Strawberry’s Pop sampai The Monophones. Selain itu, band ska paling keren yang pernah terlahir di Indonesia, Shaggy Dog, juga berasal dari kota ini. Shaggy Dog yang kini dikontrak EMI belakangan malah sedang asyik menggelar tur konser keliling Eropa selama 3 bulan! Kota gudeg ini tercatat juga pernah menggelar Parkinsound, sebuah festival musik elektronik yang pertama di Indonesia. Parkinsound #3 yang diselenggarakan tanggal 6 Juli 2001 silam di antaranya menampilkan Garden Of The Blind, Mock Me Not, Teknoshit, Fucktory, Melancholic Bitch hingga Mesin Jahat.



Scene Surabaya

Scene underground rock di Surabaya bermula dengan semakin tumbuh-berkembangnya band-band independen beraliran death metal/grindcore sekitar pertengahan tahun 1995. Sejarah terbentuknya berawal dari event Surabaya Expo (semacam Jakarta Fair di DKI - Red) dimana band- band underground metal seperti, Slowdeath, Torture, Dry, Venduzor, Bushido manggung di sebuah acara musik di event tersebut.

Setelah event itu masing-masing band tersebut kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah organisasi yang bernama Independen. Base camp dari organisasi yang tujuan dibentuknya sebagai wadah pemersatu serta sarana sosialisasi informasi antar musisi/band underground metal ini waktu itu dipusatkan di daerah Ngagel Mulyo atau tepatnya di studio milik band Retri Beauty (band death metal dengan semua personelnya cewek, kini RIP - Red). Anggota dari organisasi yang merupakan cikal bakal terbentuknya scene underground metal di Surabaya ini memang sengaja dibatasi hanya sekitar 7-10 band saja.

Rencana pertama Independen waktu itu adalah menggelar konser underground rock di Taman Remaja, namun rencana ini ternyata gagal karena kesibukan melakukan konsolidasi di dalam scene. Setelah semakin jelas dan mulai berkembangnya scene underground metal di Surabaya pada akhir bulan Desember 1997 organisasi Independen resmi dibubarkan. Upaya ini dilakukan demi memperluas jaringan agar semakin tidak tersekat-sekat atau menjadi terkotak-kotak komunitasnya.

Pada masa-masa terakhir sebelum bubarnya organisasi Independen, divisi record label mereka tercatat sempat merilis beberapa buah album milik band-band death metal/grindcore Surabaya. Misalnya debut album milik Slowdeath yang bertitel “From Mindless Enthusiasm to Sordid Self-Destruction” (September 96), debut album Dry berjudul “Under The Veil of Religion” (97), Brutal Torture “Carnal Abuse”, Wafat “Cemetery of Celerage” hingga debut album milik Fear Inside yang bertitel “Mindestruction”. Tahun-tahun berikutnya barulah underground metal di Surabaya dibanjiri oleh rilisan-rilisan album milik Growl, Thandus, Holy Terror, Kendath hingga Pejah.

Sebagai ganti Independen kemudian dibentuklah Surabaya Underground Society (S.U.S) tepat di malam tahun baru 1997 di kampus Universitas 45, saat diselenggarakannya event AMUK I. Saat itu di Surabaya juga telah banyak bermunculan band-band baru dengan aliran musik black metal. Salah satu band death metal lama yaitu, Dry kemudian berpindah konsep musik seiring dengan derasnya pengaruh musik black metal di Surabaya kala itu.

Hanya bertahan kurang lebih beberapa bulan saja, S.U.S di tahun yang sama dilanda perpecahan di dalamnya. Band-band yang beraliran black metal kemudian berpisah untuk membentuk sebuah wadah baru bernama ARMY OF DARKNESS yang memiliki basis lokasi di daerah Karang Rejo. Berbeda dengan black metal, band-band death metal selanjutnya memutuskan tidak ikut membentuk organisasi baru. Selanjutnya di bulan September 1997 digelar event AMUK II di IKIP Surabaya. Event ini kemudian mencatat sejarah sendiri sebagai event paling sukses di Surabaya kala itu. 25 band death metal dan black metal tampil sejak pagi hingga sore hari dan ditonton oleh kurang lebih 800 – 1000 orang. Arwah, band black metal asal Bekasi juga turut tampil di even tersebut sebagai band undangan.

Scene ekstrem metal di Surabaya pada masa itu lebih banyak didominasi oleh band-band black metal dibandingkan band death metal/grindcore. Mereka juga lebih intens dalam menggelar event-event musik black metal karena banyaknya jumlah band black metal yang muncul. Tercatat kemudian event black metal yang sukses digelar di Surabaya seperti ARMY OF DARKNESS I dan II.

Tepat tanggal 1 Juni 1997 dibentuklah komunitas underground INFERNO 178 yang markasnya terletak di daerah Dharma Husada (Jl. Prof. DR. Moestopo,Red). Di tempat yang agak mirip dengan rumah-toko (Ruko) ini tercatat ada beberapa divisi usaha yaitu, distro, studio musik, indie label, fanzine, warnet dan event organizer untuk acara-acara underground di Surabaya. Event-event yang pernah di gelar oleh INFERNO 178 antara lain adalah, STOP THE MADNESS, TEGANGAN TINGGI I & II hingga BLUEKHUTUQ LIVE.

Band-band underground rock yang kini bernaung di bawah bendera INFERNO 178 antara lain, Slowdeath, The Sinners, Severe Carnage, System Sucks, Freecell, Bluekuthuq dan sebagainya. Fanzine metal asal komunitas INFERNO 178, Surabaya bernama POST MANGLED pertama kali terbit kala itu di event TEGANGAN TINGGI I di kampus Unair dengan tampilnya band-band punk rock dan metal. Acara ini tergolong kurang sukses karena pada waktu yang bersamaan juga digelar sebuah event black metal. Sayangnya, hal ini juga diikuti dengan mandegnya proses penggarapan POST MANGLED Zine yang tidak kunjung mengeluarkan edisinya yang terbaru hingga kini.

Maka, untuk mengantisipasi terjadinya stagnansi atau kesenjangan informasi di dalam scene, lahirlah kemudian GARIS KERAS Newsletter yang terbit pertama kali bulan Februari 1999. Newsletter dengan format fotokopian yang memiliki jumlah 4 halaman itu banyak mengulas berbagai aktivitas musik underground metal, punk hingga HC tak hanya di Surabaya saja tetapi lebih luas lagi. Respon positif pun menurut mereka lebih banyak datang justeru dari luar kota Surabaya itu sendiri. Entah mengapa, menurut mereka publik underground rock di Surabaya kurang apresiatif dan minim dukungannya terhadap publikasi independen macam fanzine atau newsletter tersebut. Hingga akhir hayatnya GARIS KERAS Newsletter telah menerbitkan edisinya hingga ke- 12.

Divisi indie label dari INFERNO 178 paling tidak hingga sekitar 10 rilisan album masih tetap menggunakan nama Independen sebagai nama label mereka. Baru memasuki tahun 2000 yang lalu label INFERNO 178 Productions resmi memproduksi album band punk tertua di Surabaya, The Sinners yang berjudul “Ajang Kebencian”. Selanjutnya label INFERNO 178 ini akan lebih berkonsentrasi untuk merilis produk- produk berkategori non-metal. Sedangkan untuk label khusus death metal/brutal death/grindcore dibentuklah kemudian Bloody Pigs Records oleh Samir (kini gitaris TENGKORAK) dengan album kedua Slowdeath yang bertitel “Propaganda” sebagai proyek pertamanya yang dibarengi pula dengan menggelar konser promo tunggal Slowdeath di Café Flower sekitar bulan September 2000 lalu yang dihadiri oleh 150- an penonton. Album ini sempat mencatat sold out walau masih dalam jumlah terbatas saja. Ludes 200 keping tanpa sisa.



Scene Malang

Kota berhawa dingin yang ditempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Surabaya ini ternyata memiliki scene rock underground yang “panas” sejak awal dekade 90-an. Tersebutlah nama Total Suffer Community (T.S.C) yang menjadi motor penggerak bagi kebangkitan komunitas rock underground di Malang sejak awal 1995. Anggota komunitas ini terdiri dari berbagai macam musisi lintas-scene, namun dominasinya tetap saja anak-anak metal. Konser rock underground yang pertama kali digelar di kota Malang diorganisir pula oleh komunitas ini. Acara bertajuk Parade Musik Underground tersebut digelar di Gedung Sasana Asih YPAC pada tanggal 28 Juli 1996 dengan menampilkan band-band lokal Malang seperti Bangkai (grindcore), Ritual Orchestra (black metal), Sekarat (death metal), Knuckle Head (punk/hc), Grindpeace (industrial death metal), No Man’s Land (punk), The Babies (punk) dan juga band-band asal Surabaya, Slowdeath (grindcore) serta The Sinners (punk).

Beberapa band Malang lainnya yang patut di beri kredit antara lain Keramat, Perish, Genital Giblets, Santhet dan tentunya Rotten Corpse. Band yang terakhir disebut malah menjadi pelopor style brutal death metal di Indonesia. Album debut mereka yang bertitel “Maggot Sickness” saat itu menggemparkan scene metal di Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Bali karena komposisinya yang solid dan kualitas rekamannya yang top notch. Belakangan band ini pecah menjadi dua dan salah satu gitaris sekaligus pendirinya, Adyth, hijrah ke Bandung dan membentuk Disinfected. Di kota inilah lahir untuk kedua kalinya fanzine musik di Indonesia. Namanya Mindblast zine yang diterbitkan oleh dua orang scenester, Afril dan Samack pada akhir 1995. Afril sendiri merupakan eks-vokalis band Grindpeace yang kini eksis di band crust-grind gawat, Extreme Decay. Sementara indie label pionir yang hingga kini masih bertahan serta tetap produktif merilis album di Malang adalah Confused Records



Scene Bali

Berbicara scene underground di Bali kembali kita akan menemukan komunitas metal sebagai pelopornya. Penggerak awalnya adalah komunitas 1921 Bali Corpsegrinder di Denpasar. Ikut eksis di dalamnya antara lain, Dede Suhita, Putra Pande, Age Grindcorner dan Sabdo Moelyo. Dede adalah editor majalah metal Megaton yang terbit di Jogjakarta, Putra Pande adalah salah satu pionir webzine metal Indonesia Corpsegrinder (kini Anorexia Orgasm) sejak 1998, Age adalah pengusaha distro yang pertama di Bali dan Moel adalah gitaris/vokalis band death metal etnik, Eternal Madness yang aktif menggelar konser underground di sana. Nama 1921 sebenarnya diambil dari durasi siaran program musik metal mingguan di Radio Cassanova, Bali yang berlangsung dari pukul 19.00 hingga 21.00 WITA.

Awal 1996 komunitas ini pecah dan masing-masing individunya jalan sendiri-sendiri. Moel bersama EM Enterprise pada tanggal 20 Oktober 1996 menggelar konser underground besar pertama di Bali bernama Total Uyut di GOR Ngurah Rai, Denpasar. Band-band Bali yang tampil diantaranya Eternal Madness, Superman Is Dead, Pokoke, Lithium, Triple Punk, Phobia, Asmodius hingga Death Chorus. Sementara band- band luar Balinya adalah Grausig, Betrayer (Jakarta), Jasad, Dajjal, Sacrilegious, Total Riot (Bandung) dan Death Vomit (Jogjakarta). Konser ini sukses menyedot sekitar 2000 orang penonton dan hingga sekarang menjadi festival rock underground tahunan di sana. Salah satu alumni Total Uyut yang sekarang sukses besar ke seantero nusantara adalah band punk asal Kuta, Superman Is Dead. Mereka malah menjadi band punk pertama di Indonesia yang dikontrak 6 album oleh Sony Music Indonesia. Band-band indie Bali masa kini yang stand out di antaranya adalah Navicula, Postmen, The Brews, Telephone, Blod Shot Eyes dan tentu saja Eternal Madness yang tengah bersiap merilis album ke tiga mereka dalam waktu dekat.

Memasuki era 2000-an scene indie Bali semakin menggeliat. Kesuksesan S.I.D memberi inspirasi bagi band-band Bali lainnya untuk berusaha lebih keras lagi, toh S.I.D secara konkret sudah membuktikan kalau band `putera daerah’ pun sanggup menaklukan kejamnya industri musik ibukota. Untuk mendukung band-band Bali, drummer S.I.D, Jerinx dan beberapa kawannya kemudian membuka The Maximmum Rock N’ Roll Monarchy (The Max), sebuah pub musik yang berada di jalan Poppies, Kuta. Seringkali diadakan acara rock reguler di tempat ini.



Indie Indonesia Era 2000-an

Bagaimana pergerakan scene musik independen Indonesia era 2000-an? Kehadiran teknologi internet dan e-mail jelas memberikan kontribusi besar bagi perkembangan scene ini. Akses informasi dan komunikasi yang terbuka lebar membuat jaringan (networking) antar komunitas ini semakin luas di Indonesia. Band-band dan komunitas-komunitas baru banyak bermunculan dengan menawarkan style musik yang lebih beragam. Trend indie label berlomba-lomba merilis album band-band lokal juga menggembirakan, minimal ini adalah upaya pendokumentasian sejarah yang berguna puluhan tahun ke depan.

Yang menarik sekarang adalah dominasi penggunaan idiom `indie’ dan bukan underground untuk mendefinisikan sebuah scene musik non- mainstream lokal. Sempat terjadi polemik dan perdebatan klasikmengenai istilah `indie atau underground’ ini di tanah air. Sebagian orang memandang istilah `underground’ semakin bias karena kenyataannya kian hari semakin banyak band-band underground yang `sell-out’, entah itu dikontrak major label, mengubah style musik demi kepentingan bisnis atau laris manis menjual album hingga puluhan ribu keping. Sementara sebagian lagi lebih senang menggunakan idiom indie karena lebih `elastis’ dan misalnya, lebih friendly bagi band-band yang memang tidak memainkan style musik ekstrem. Walaupun terkesan lebih kompromis, istilah indie ini belakangan juga semakin sering digunakan oleh media massa nasional, jauh meninggalkan istilah ortodoks `underground’ itu tadi.

Ditengah serunya perdebatan indie/underground, major label atau indie label, ratusan band baru terlahir, puluhan indie label ramai- ramai merilis album, ribuan distro/clothing shop dibuka di seluruh Indonesia. Infrastruktur scene musik non-mainstream ini pun kian established dari hari ke hari. Mereka seakan tidak peduli lagi dengan polarisasi indie-major label yang makin tidak substansial. Bermain musik sebebas mungkin sembari bersenang-senang lebih menjadi `panglima’ sekarang ini.

Sejarah Musik POP Indonesia (Koes Ploes)

Perjalanan karir

Kelompok ini dibentuk pada tahun 1969, sebagai kelanjutan dari kelompok “Koes Bersaudara”. Koes Bersaudara menjadi pelopor musik pop dan rock ‘n roll, bahkan pernah dipenjara karena musiknya yang dianggap mewakili aliran politik kapitalis. Di saat itu sedang garang-garangnya gerakan anti kapitalis di Indonesia.

Era Orde Lama

Pada Kamis 1 Juli 1965, sepasukan tentara dari Komando Operasi Tertinggi (KOTI) menangkap kakak beradik Tony, Yon, dan Yok Koeswoyo dan mengurung mereka di LP Glodok, kemudian Nomo Koeswoyo atas kesadaran sendiri, datang menyusul. Adik Alm Tony Koeswoyo itu rupanya memilih “mangan ora mangan kumpul” ketimbang berpisah dari saudara-saudara tercinta. Adapun kesalahan mereka adalah karena selalu memainkan lagu – lagu The Beatles yang dianggap meracuni jiwa generasi muda saat itu. Sebuah tuduhan tanpa dasar hukum dan cenderung mengada ada, mereka dianggap memainkan musik “ngak ngek ngok” istilah Pemerintahan berkuasa saat itu, musik yg cenderung imperialisme pro barat. Dari penjara justru menghasilkan lagu-lagu yang sampai saat sekarang tetap menggetarkan, “Didalam Bui”, “jadikan aku dombamu”, “to the so called the guilties”, dan “balada kamar 15″. 29 September 1965, sehari sebelum meletus G 30 S-PKI, mereka dibebaskan tanpa alasan yang jelas.

http://id.wikipedia.org/wiki/Koes_Plus


Dari Koes Bersaudara menjadi Koes Plus

Dari kelompok Koes Bersaudara ini lahir lagu-lagu yang sangat populer seperti “Bis Sekolah”,“ Di Dalam Bui”, “Telaga Sunyi”, “Laguku Sendiri” dan masih banyak lagi. Satu anggota Koes Bersaudara, Nomo Koeswoyo keluar dan digantikan Murry sebagai drummer. Walaupun penggantian ini awalnya menimbulkan masalah dalam diri salah satu personalnya yakni Yok yang keberatan dengan orang luar. Nama Bersaudara seterusnya diganti dengan Plus, artinya plus orang luar: Murry.

Sebenarnya lagu-lagu Koes Bersaudara lebih bagus dari segi harmonisasi ( seperti lagu “Telaga Sunyi”, “Dewi Rindu” atau “Bis Sekolah”) dibanding lagu-lagu Koes Plus. Saat itu Nomo, selain bermusik juga mempunya pekerjaan sampingan. Sementara Tonny menghendaki totalitas dalam bermusik yang membuat Nomo harus memilih. Akhirnya Koes Bersaudara harus berubah. Kelompok Koes Plus dimotori oleh almarhum Tonny Koeswoyo (anggota tertua dari keluarga Koeswoyo). Koes Plus dan Koes Bersaudara harus dicatat sebagai pelopor musik pop di Indonesia. Sulit dibayangkan sejarah musik pop kita tanpa kehadiran Koes Bersaudara dan Koes Plus.

Tradisi membawakan lagu ciptaan sendiri adalah tradisi yang diciptakan Koes Bersaudara. Kemudian tradisi ini dilanjutkan Koes Plus dengan album serial volume 1, 2 dan seterusnya. Begitu dibentuk, Koes Plus tidak langsung mendapat simpati dari pecinta musik Indonesia. Piringan hitam album pertamanya sempat ditolak beberapa toko kaset. Mereka bahkan mentertawakan lagu “Kelelawar” yang sebenarnya asyik itu.

Kemudian Murry sempat ngambek dan pergi ke Jember sambil membagi-bagikan piringan hitam albumnya secara gratis pada teman-temannya. Dia bekerja di pabrik gula sekalian main band bersama Gombloh lewat group Lemon Trees. Tonny yang kemudian menyusul Murry untuk diajak kembali ke Jakarta. Baru setelah lagu “Kelelawar” diputar di RRI orang lalu mencari-cari album pertama Koes Plus. Beberapa waktu kemudian lewat lagu-lagunya “Derita”, “Kembali ke Jakarta”, “Malam Ini”, “Bunga di Tepi Jalan” hingga lagu “Cinta Buta”, Koes Plus mendominasi musik Indonesia waktu itu.

Kiblat Musik Pop Indonesia

Dengan adanya tuntutan dari produser perusahaan rekaman maka group-group lain yang “seangkatan” seperti Favourites, Panbers, Mercy’s, D’Lloyd menjadikan Koes Plus sebagai “kiblat”, sehingga group-group ini selalu meniru apa yang dilakukan Koes Plus, pembuatan album di luar pop Indonesia, seperti pop melayu dan pop jawa menjadi trend group-group lain setelah Koes Plus mengawalinya.

“Seandainya kelompok ini lahir di Inggris atau AS bukan tidak mungkin akan menggeser popularitas Beatles”

“Lagu Nusantara I” (Volume 5), “Oh Kasihku” (Volume 6), “Mari-Mari” (Volume 7), “Diana” dan “Kolam Susu” ( Volume merajai musik pop waktu itu. Puncak kejayaan Koes Plus terjadi ketika mereka mengeluarkan album Volume 9 dengan lagu yang sangat terkenal “Muda-Mudi” (yang diciptakan Koeswoyo, bapak dari Tonny, Yon dan Yok). Disusul lagu “Bujangan” dan “Kapan-Kapan” dari volume 10. Masih berlanjut dengan lagu “Nusantara V” dari album Volume 11 dan “Cinta Buta” dari album Volume 12.

Bersamaan dengan itu Koes Plus juga mengeluarkan album pop Jawa dengan lagu yang dikenal dari tukang becak, ibu-ibu rumah tangga, hinga anak-anak muda, yaitu “Tul Jaenak” dan “Ojo Nelongso”. Belum lagi lagu mereka yang berirama melayu seperti “Mengapa”, “Cinta Mulia” dan lagu keroncongnya yang berjudul “Penyanyi Tua”. Sayang sekali di setiap album yang mereka keluarkan tidak ada dokumentasi bulan dan tahun, sehingga susah melacak album tertentu dikeluarkan tahun berapa. Bahkan tidak ada juga kata-kata pengantar lainnya. Album mereka baru direkam secara teratur mulai volume VIII setelah ditandatangani kontrak dengan Remaco. Sebelumnya perusahaan yang merekam album-album mereka adalah “Dimita”.

Pada tahun 1972-1976 udara Indonesia benar-benar dipenuhi oleh lagu-lagu Koes Plus. Baik radio atau orang pesta selalu mengumandangkan lagu Koes Plus. Barangkali tidak ada orang-orang Indonesia yang waktu itu masih berusia remaja yang tidak mengenal Koes Plus. Kapan Koes Plus mengeluarkan album baru selalu ditunggu-tunggu pecinta Koes Plus dan masyarakat umum.

Tahun 1972 Koes Plus sempat menjadi band terbaik dalam Jambore Band di Senayan. Semua peserta menyanyikan lagu Barat berbahasa Inggris. Hanya Koes Plus yang berani tampil beda dengan menyanyikan lagu “Derita” dan “Manis dan Sayang”.

Rekor Album

Dari informasi yang dikirim seorang penggemar Koes Plus, ternyata prestasi Koes Plus memang luar biasa. Pada tahun 1974 Koes Plus mengeluarkan 22 album, yaitu terdiri dari album lagu-lagu baru dan album-album “the best” termasuk album-album instrumentalia, yang dibuat dari instrument asli Koes Plus atau rekaman “master” yang kemudian diisi oleh permainan saxophone Albert Sumlang, seorang pemain dari group the Mercy’s. Jadi rata-rata mereka mengeluarkan 2 album dalam satu bulan. Tahun 1975 ada 6 album. Kemudian tahun 1976 mereka mengeluarkan 10 album. Mungkin rekor ini pantas dicatat di dalam Guinness Book of Record. Dan hebatnya, lagu-lagu mereka bukan lagu ‘asal jadi’, tetapi memang hampir semua enak didengar. Bukti ini merupakan jawaban yang mujarab karena banyak yang mengkritik lagu-lagu Koes Plus cuma mengandalkan “tiga jurus”: kunci C-F-G.

Karena banyak jasanya dalam pengembangan musik, masyarakat memberikan tanda penghargaan terhadap prestasinya menjadi kelompok legendaris dengan diberikannya tanda penghargaan melalui “Legend Basf Award, tahun 1992.Prestasi yang dimiliki disamping masa pengabdiannya dibidang seni cukup lama, produk hasil ciptaan lagunya pun juga memadai karena sejak tahun 1960 sampai sekarang berhasil menciptakan 953 lagu yang terhimpun dalam 89 album. Prestasi hasil ciptaan lagu untuk periode kelompok Koes Bersaudara sebanyak 203 lagu (dalam 17 album),sedang untuk periode kelompok Koes Plus sebanyak 750 lagu dalam 72 album (Kompas,13 September 2001).

Salah satu anggota Koes Plus mengatakan bahwa mereka dibayar sangat mahal pada masa jayanya. Yon mengungkapkan bahwa pada tahun 1975 mereka manggung di Semarang. “Waktu itu pada tahun 1975, kami telah dibayar Rp 3 juta saat pentas di Semarang,” kenang dia. Padahal, saat itu harga sebuah mobil Corona tahun 1975 kira-kira Rp 3,750 juta. Bila dikurs saat ini bayaran tersebut kurang lebih sama dengan Rp 150 juta.(Suara Merdeka, 4 Mei 2001)

Waktu itu, Rp 3,5 juta sangat tinggi, mengingat mobil sedan baru Rp 3 juta. Jika dikurskan dengan nilai uang sekarang, jumlah itu sama dengan Rp 200 juta sampai Rp 300 juta. Jumlah penonton melimpah ruah tidak seperti sekarang, kenang Yon. (Suara Merdeka, 23 Oktober 2001).

Setelah itu popularitas Koes Plus mulai redup. Mungkin karena generasi sudah berganti dan selera musiknya berubah. Koes Plus vakum sementara dan Nomo masuk lagi menggantikan Murry, sekitar akhir 1976-an. Koes Bersaudara terbentuk lagi dan langsung ngetop dengan lagunya “Kembali” yang keluar tahun 1977. Murry bersama groupnya Murry’s Group juga cukup menggebrak dengan lagunya “Mamiku-papiku”. Tidak bertahan lama tahun 1978 kembali terbentuk Koes Plus. Lagu barunya, “Pilih Satu” juga langsung populer. Setelah itu keluar lagu “Cinta”, dengan aransemen orchestra, yang benar-benar berbeda dengan lagu Koes Plus yang lain. Kemudian populer juga album melayu mereka yang memuat lagu “Cubit-Cubitan” dan “Panah Asmara”. Tetapi Koes Plus generasi ini tidak lagi sepopuler sebelumnya. Walaupun, kalau disimak lagu-lagu yang lahir setelah 1978, masih banyak lagu mereka yang bagus.

Nasib Koes Plus kini sangat tragis. Seperti kata Yon suatu ketika bahwa Koes Plus hanya besar namanya tetapi tidak punya apa-apa. Ucapan ini memang pas untuk mewakili keadaan personel Koes Plus. Mereka tidak mendapatkan uang dari hasil penjualan kaset yang berisi lagu-lagu lama mereka. Tidak seperti para penyanyi/pemusik masa kini yang gaya hidupnya “wah” karena dari segi finansial pendapatannya sebagai penyanyi/pemusik cukup terjamin. Begitu juga bekas group-group tersohor seperti Beatles, atau Led Zeppelin, mereka hidup dengan enak hanya dari royalti kaset/VCD/CD/DVD yang mereka hasilkan. Sampai anak-anak dan istri mereka pun menikmati kelimpahan finansial ini. Koes Plus hanya dibayar sekali untuk setiap album yang dihasilkan. Tidak ada royalti, tidak ada tambahan fee untuk setiap CD/kaset yang terjual.

MUSIC

Musik menjadi salah satu elemen penting dalam breakdance, karena para breakers tentu tidak akan bisa menari tanpa musik. Bahkan terkadang musik-musik yang seru dapat menjadi sebuah inspirasi tersendiri bagi para breakers ini. Musik-musik dengan irama break beat merupakan menu wajib di sini, yaitu dengan campuran musik-musik lain seperti Jazz, Soul, Funk, Electro, Electro Funk, Disco, Hip Hop, sampai R&B. Musik-musik ini tidak dibiarkan murni begitu saja, karena ada DJ yang bertugas mengolah musik tersebut sehingga akan terdengar sangat serasi dengan gerakan-gerakan yang ada.

Tempo pada musik yang dimainkan disini berkisar antara 110 hingga 135 beats per minute (BPM), sedangkan di Eropa untuk urusan musik memang sedikit berbeda jika dibandingkan dengan Amerika. Kalu di Amerika para breakers menggunakan black music untuk mengiri tarian mereka, maka Eropa memilih jenis musik electronica dan rock untuk mengiringi mereka. Musik yang berbeda tersebut menjadi sebuah warna tersendiri di dunia ini, dan gerakan-gerakan yang mereka mainkan pun terlihat lebih extreme dibandingkan dengan gerakan para breakers yang menggunakan musik-musik pada umumnya.

Selasa, 13 Oktober 2009

SEJARAH BLOGGER

Sejarah Blogger

Blogger dimulai oleh sebuah perusahaan sangat kecil di San Fransisco yang bernama Pyra Labs pada bulan Agustus 1999. Terjadi di tengah-tengah booming dot-com. Tetapi kami bukan jenis perusahaan yang didanai oleh VC, suka berpesta, dan berhura-hura, ataupun minum bir. (Kecuali bir gratis.)

Kami tiga sekawan, didanai dengan melakukan kontrak proyek web yang mengesalkan untu kperusahaan besar, berusaha mencari jalan masuk yang megah ke dunia Internet. Apa yang dulu kami coba lakukan tidak ada hubungannya lagi sekarang. Tapi dulku ketika melakukan itu, kami menciptakan Blogger, hanya iseng saja, dan kami berpikir — Hmmmm... ini sepertinya menarik.

Blogger dimulai, dengan cara sederhana, dan akhirnya membesar, selama beberapa tahun. Kami telah mendapatkan sedikit uang (tapi masih kecil). Kemudian keruntuhan dot-com terjadi, dan kamipun kehabisan uang, dan kesenangan kecil dalam perjalanan kami semakin tidak menyangkan lagi. Kami hampir tidak selamat, tidak utuh, tapi masih bisa mempertahankan layanan tetap berjalan sepanjang waktu (biasanya) dan mulai membangunnya kembali.

Semua hal berjalan dengan baik lagi di tahun 2002. Kami memiliki ratusan ribu user, meskipun itu belum banyak. Dan kemudian sesuatu yang tidak diharapkan terjadi: Google ingin untuk membeli kami. Ya, Google yang itu

Kami suka Google , banget. Dan mereka suka blog. Jadi kami mengamini ide tersebut. Dan segalanya berjalan lancar.

Sekarang kami merupakan tim kecil (tapi sedikit lebih besar dari sebelumnya) di Google berfocus untuk menolong orang memiliki suara mereka sendiri di web dan mengorganisasikan informasi dunia dari perspektif perorangan. Yang dari dulunya sudah menjadi urusan kami.

Untuk mengenal Google luar-dalam, periksa google.com. (Juga baik untuk penelusuran.)